
Beragam tujuan orang berpacaran. Di antaranya Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan.
Namun
tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan.
Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa
ketertarikan semata, yang di sebabkan dari sisi kedewasaan, usia,
kemampuan finansial dan persiapan lainnya. Dalam membentuk rumah tangga,
mereka di nilai sangat belum siap.
Secara lebih khusus, ada
yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media
perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya.
Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga.
Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan
pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang
pacaran itu melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu
menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai bagian dari aktifitas
yang normal.
Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran
banyak terjadi hal-hal yang diluar dugaan. Bahkan beberapa penelitian
menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini
cenderung sampai kepada level yang sangat jauh. Bukan sekedar apel di
malam minggu, kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan
bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah
merupakan hal yang biasa terjadi.
Maka jelaslah bahwa praktek pacaran
pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan perilaku zina yang oleh
sistem hukum di negeri ini sama sekali tidak dilarang. Sebab buat sistem
hukum sekuluer warisan penjajah, zina adalah hak asasi yang harus
dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang berzina, tidak bisa
dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu menghasilkan hukuman
dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati.
Islam
mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika
seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa.
Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
`Dijadikan
indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS.
Ali Imran :14).
Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk
mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur,
ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh dengan
tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi
kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.
Rasulullah
SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang
paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang
paling baik terhadap istriku`.
dalam konsep Islam, cinta kepada lain
jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua
sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan
sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.
Sebab
cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak
mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta
belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi
cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang
disaksikan oleh orang banyak.
text-align: justify;">
Bahkan lebih `keren`nya, ucapan
janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah
kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan
berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang
yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya
dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih`
kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.
Dengan
ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia
telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang
bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen
atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya
menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi “the real man”.
pemandangan
yang sering kita lihat dimana-mana banyak orang Islam yang melakukan
praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya
manusia memang telah terlalu jauh dari agama.
Melihat
kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya
sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk
saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak
berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu
kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting
dan diteruskan dengan janji bertemu langsung.
Semua bentuk aktivs
tersebut bukanlah di namakn cinta sebab Sama sekali tidak ada ikatan
formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab
antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan.
Padahal
cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga
kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat,
sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.
Bahkan
kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan
penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon
suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak
adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang
diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.
Proses penjajakan yang
dikenal dalam Islam adalah ta`aruf. Ta'aruf Jauh lebih bermanfaat dan
objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang
sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti
dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan
mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam
berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.
Istri tidak selalu
dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga
lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan
acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat
indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan
menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis
saat pacaran.
Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada
terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian,
pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan
sebuah penyesatan dan pengelabuhan.
Dan tidak heran bila kita
dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus
perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran
bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran
bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.
Untuk menghindarkan bahaya berpacaran sebaiknya kita kita menyimak pendapat dari Ibnu
Qoyyim Al-Jauzy dalam kitab Ad Da’ Wa Ad Dawa’ mengatakan ada empat
pintu maksiat yaitu: pandangan, tutur kata, lintasan hati dan langkah
kaki. Jagalah keempatnya, niscaya kita dapat selamat.
0 komentar:
Posting Komentar